Di tengah derasnya arus berita tentang pencapaian akademik dan prestasi mahasiswa, muncul kisah yang menyentuh hati banyak orang. Seorang wanita paruh baya, yang akrab disapa Ibu Dessy, mendadak viral di media sosial setelah kisahnya sebagai “mahasiswi abadi” tersebar luas. Ia diketahui rutin datang ke kampus setiap hari, meski sebenarnya sudah lama tidak tercatat sebagai mahasiswa aktif — semua itu karena trauma mendalam terhadap skripsi yang tak pernah rampung.
Kisah Lama yang Belum Usai
Menurut sejumlah mahasiswa dan dosen di kampus tempatnya dulu menuntut ilmu, Ibu Dessy dulunya dikenal sebagai sosok yang cerdas, rajin, dan penuh semangat. Ia mengambil jurusan di bidang sosial, dan sempat menjadi salah satu mahasiswa berprestasi pada awal masa kuliah.
Namun, semua berubah ketika ia memasuki fase akhir studinya: menyusun skripsi.
Konon, bimbingan yang sulit, tekanan akademik, serta kegelisahan untuk mencapai “kesempurnaan” membuatnya mulai kehilangan arah. Beberapa kali ganti dosen pembimbing, berganti topik, hingga pada akhirnya rasa percaya dirinya hilang sepenuhnya.
Seiring waktu, ia tak lagi mampu menyelesaikan tugas akhirnya. Meski status mahasiswanya telah berakhir, Ibu Dessy tetap datang ke kampus setiap hari, seolah masih memiliki jadwal kuliah seperti dulu. Ia akan duduk di taman fakultas, menyapa petugas kebersihan, dan sesekali berbicara dengan mahasiswa baru yang mungkin tak tahu siapa dirinya.
Rutinitas yang Menjadi Pelarian
Bagi sebagian orang, kebiasaan Ibu Dessy mungkin tampak aneh. Namun bagi dirinya, kampus adalah tempat di mana ia merasa hidup dan diterima. Di sana, ia bisa mengenang masa-masa muda, teman-teman lama, dan semangat yang pernah membara.
“Kalau saya di rumah, saya merasa hampa. Tapi kalau ke kampus, saya merasa masih punya harapan,” begitu kira-kira penggalan ucapan yang sempat diungkapkan oleh Ibu Dessy kepada salah satu mahasiswa yang mengenalnya.
Ia sering membawa buku catatan dan pulpen, menulis sesuatu di bangku taman, seolah masih mengerjakan revisi skripsi yang tak pernah selesai. Rutinitas itu sudah berlangsung bertahun-tahun. Bagi sebagian mahasiswa, kehadiran Ibu Dessy menjadi sosok ikonik — pengingat tentang perjuangan dan batas kemampuan manusia di tengah tekanan akademik.
Simpati dan Empati dari Warganet
Setelah kisahnya viral, ribuan warganet mengungkapkan rasa haru dan simpati. Banyak yang menulis bahwa mereka bisa memahami tekanan luar biasa yang sering dirasakan mahasiswa saat menyelesaikan skripsi.
Sebagian bahkan mengaku pernah berada di titik serupa — di mana kecemasan, perfeksionisme, dan rasa takut gagal membuat seseorang kehilangan arah.
Tagar tentang Ibu Dessy pun ramai digunakan di media sosial. Banyak netizen menganggap kisah ini sebagai refleksi dari sistem pendidikan yang sering kali terlalu menekan mahasiswa untuk “sempurna”, tanpa memperhatikan kondisi mental mereka.
Pihak Kampus Angkat Bicara
Pihak kampus tempat Ibu Dessy dulu berkuliah dikabarkan sudah mengetahui situasi tersebut sejak lama. Beberapa dosen bahkan masih berusaha menemui dan berinteraksi dengan penuh empati, memastikan bahwa ia tidak merasa diabaikan.
Menurut sejumlah pihak, kampus kini tengah menyiapkan pendekatan psikologis agar Ibu Dessy bisa mendapatkan pendampingan yang layak. Meski demikian, pihak kampus juga menghormati keinginannya untuk tetap datang setiap hari, selama hal itu tidak mengganggu aktivitas akademik.
Pelajaran dari Kisah Ibu Dessy
Lebih dari sekadar kisah tragis, pengalaman Ibu Dessy membawa pesan kuat tentang kerentanan manusia di balik gelar dan pendidikan. Ia menjadi simbol bahwa tekanan akademik, jika tidak diimbangi dengan dukungan emosional, dapat meninggalkan luka batin yang dalam.
Bagi banyak mahasiswa, kisah ini menjadi pengingat bahwa kesehatan mental sama pentingnya dengan nilai dan prestasi.
Kadang, kegigihan tidak selalu berarti terus berjuang tanpa henti — melainkan tahu kapan harus berhenti, menerima, dan memaafkan diri sendiri.
Tinggalkan Balasan