Dunia pewayangan Indonesia berduka. Ki Anom Suroto, dalang legendaris yang telah menjadi ikon kesenian Jawa selama lebih dari lima dekade, dikabarkan meninggal dunia pada Kamis (…/…/2025) di usia 75 tahun. Kabar duka ini menyebar cepat di kalangan seniman, budayawan, dan masyarakat pecinta wayang kulit di seluruh Tanah Air.
Kepergian Ki Anom Suroto bukan hanya kehilangan bagi dunia pedalangan, tetapi juga bagi seni tradisi Indonesia yang kini kian jarang mendapatkan regenerasi sebesar dirinya.
🎭 Maestro Wayang yang Tak Pernah Lekang oleh Waktu
Nama Ki Anom Suroto sudah melekat erat dalam sejarah kesenian Jawa sejak tahun 1970-an. Lahir di Sukoharjo, Jawa Tengah, beliau tumbuh di lingkungan yang kental dengan budaya pedalangan. Ayahnya, Ki Suroto, juga seorang dalang ternama, yang kelak menjadi inspirasi utama bagi Anom muda untuk menapaki jalan yang sama.
Dikenal dengan gaya sabetan halus dan cengkok suara khas, Ki Anom Suroto berhasil memadukan pakem klasik dengan pendekatan modern.
Penampilannya selalu dinanti di setiap pergelaran, dari hajatan rakyat hingga panggung besar di tingkat nasional dan internasional.
Bahkan, tak sedikit penikmat seni yang mengenalnya lewat rekaman kaset wayang kulit di era 1980–1990-an — masa ketika suara Ki Anom Suroto menjadi bagian dari keseharian masyarakat Jawa.
🌾 Kiprah Panjang di Dunia Wayang
Selama hidupnya, Ki Anom Suroto telah mementaskan ribuan lakon wayang kulit, mulai dari Mahabharata hingga Ramayana, dengan ciri khas yang mendalam dan mengandung pesan moral kuat.
Beliau dikenal sering mengangkat tema-tema kemanusiaan dan keadilan sosial, menjadikan setiap pagelarannya bukan sekadar hiburan, tetapi juga refleksi kehidupan.
Ki Anom juga aktif menjadi pembimbing generasi muda dalang melalui berbagai sanggar dan festival. Banyak dalang muda yang kini terkenal — termasuk anaknya sendiri, Ki Bayu Aji — merupakan hasil didikan langsung dari sang maestro.
Tak heran jika banyak pihak menyebutnya sebagai “Dalang Panutan”, bukan hanya karena kepiawaiannya, tapi juga karena dedikasinya menjaga marwah budaya Jawa.
🕯️ Dikenang dengan Doa dan Pementasan
Sejak kabar kepergiannya menyebar, berbagai tokoh seni dan budaya menyampaikan belasungkawa.
Paguyuban dalang dari berbagai daerah juga berencana menggelar pementasan wayang kulit serentak sebagai bentuk penghormatan terakhir bagi sang legenda.
“Ki Anom bukan hanya dalang, beliau guru kehidupan. Dalam setiap lakonnya, selalu ada nasihat untuk hidup yang lebih bijaksana,” ujar salah satu dalang muda dari Yogyakarta.
🕊️ Warisan yang Tak Akan Padam
Meski Ki Anom Suroto telah tiada, karya dan pengaruhnya akan tetap hidup.
Rekaman-rekaman pementasannya masih tersimpan dan terus diputar, sementara nilai-nilai yang ia sampaikan — tentang kejujuran, kebijaksanaan, dan cinta tanah air — akan terus menjadi warisan bagi generasi mendatang.
Seni wayang mungkin akan terus berevolusi, tapi nama Ki Anom Suroto akan selalu dikenang sebagai salah satu dalang terbesar dalam sejarah Indonesia, seorang maestro yang menjadikan pewayangan bukan sekadar seni, melainkan bahasa moral bangsa.
📜 “Urip iku urup”
Kalimat bijak yang sering diucapkan Ki Anom Suroto — “Urip iku urup” (hidup itu menyala, memberi manfaat bagi sesama) — kini menjadi pengingat abadi bagi para penerusnya.
Hidupnya telah menjadi cahaya bagi dunia seni, dan meski raganya telah pergi, sinarnya tak akan pernah padam.
Selamat jalan, Ki Anom Suroto.
Indonesia berterima kasih atas segala warisanmu.
Tinggalkan Balasan