Insiden di Bus TransJakarta Berujung Damai: Korban Pilih Maafkan Pelaku Lansia

Jakarta — Seorang wanita penumpang TransJakarta memutuskan untuk berdamai dengan pria lanjut usia yang sebelumnya meneriakinya dengan tuduhan serius dan sempat melakukan tindakan fisik. Keputusan itu dibuat bukan karena tekanan, melainkan atas dasar rasa iba dan pertimbangan kemanusiaan.

Peristiwa bermula saat wanita bernama Sabina Luthfi tengah berada di dalam bus TransJakarta rute 8M. Dalam perjalanan, ia mendapat perlakuan tak menyenangkan dari pria tua yang kemudian diketahui berusia 69 tahun. Lelaki tersebut bukan hanya melontarkan hinaan, tetapi juga sempat melakukan kontak fisik ringan. Tuduhan yang diarahkan bahkan menyebut Sabina sebagai “teroris”, yang sempat membuat penumpang lain terkejut.

Sabina yang merasa dirugikan sempat membawa kasus ini ke ranah hukum. Ia membuat laporan resmi ke Polsek Grogol Petamburan, disertai bukti visum dan rekaman kejadian dari kamera pengawas.

Namun, proses hukum tidak berlanjut hingga ke meja hijau. Setelah melalui beberapa mediasi, Sabina memilih mencabut laporannya. Ia mengatakan, keputusan tersebut diambil setelah melihat kondisi pelaku yang hidup sendiri, sakit-sakitan, dan telah menunjukkan penyesalan mendalam atas tindakannya.

“Aku enggak tega. Dia juga sudah tua, tinggal sendiri, dan tadi benar-benar minta maaf,” ujar Sabina usai mediasi dengan pelaku.

Sabina mengaku bahwa keputusan itu tidak mudah. Ia mengakui bahwa sempat mempertimbangkan banyak hal, terutama karena kasus ini sempat viral di media sosial. Namun, ia merasa bahwa memberi maaf bukan berarti lemah, melainkan sebuah bentuk kekuatan yang jarang dimiliki orang.

Pihak TransJakarta sendiri telah mengambil langkah pencegahan. Pria lansia tersebut kini diblokir dari akses penggunaan layanan TransJakarta sebagai bentuk sanksi sosial agar kejadian serupa tidak terulang.

Langkah Sabina menuai berbagai tanggapan. Banyak yang memuji keberaniannya untuk memaafkan, meskipun sebagian juga menyayangkan keputusan damai karena menganggap kasus ini menyangkut isu lebih besar seperti intoleransi dan diskriminasi.

Namun bagi Sabina, yang terpenting adalah ketenangan hati. Ia berharap kejadian ini menjadi pelajaran bagi semua pihak—baik pelaku, penumpang lain, hingga masyarakat luas.

“Kadang, marah dan membawa ke jalur hukum itu mudah. Tapi memilih memaafkan butuh keberanian yang berbeda,” tutupnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

About the author

Sophia Bennett is an art historian and freelance writer with a passion for exploring the intersections between nature, symbolism, and artistic expression. With a background in Renaissance and modern art, Sophia enjoys uncovering the hidden meanings behind iconic works and sharing her insights with art lovers of all levels. When she’s not visiting museums or researching the latest trends in contemporary art, you can find her hiking in the countryside, always chasing the next rainbow.